Penegakan hukum tentang Cybercrime terutama di Indonesia sangatlah dipengaruhi oleh lima faktor yaitu undang-undang, mentalitas aparat penegak hukum, perilaku masyarakat, sarana dan kultur. Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya selalu melibatkan manusia di dalamnya dan juga melibatkan tingkah laku manusia di dalamnya. Hukum juga tidak bisa tegak dengan sendirinya tanpa adanya penegak hukum. Penegak hukum tidak hanya dituntut untuk profesional dan pintar dalam menerapkan norma hukum tapi juga berhadapan dengan seseorang bahkan kelompok masyarakat yang diduga melakukan kejahatan.
Dengan seiringnya perkembangan jaman dan perkembangan dunia kejahatan, khususnya perkembangan Cybercrime yang semakin mengkhawatirkan, penegak hukum dituntut untuk bekerja keras karena penegak hukum menjadi subjek utama yang berperang melawan Cybercrime. Misalnya Resolusi PBB No.5 tahun 1963 tentang upaya untuk memerangi kejahatan penyalahgunaan Teknologi Informasi pada tanggal 4 Desember 2001, memberikan indikasi bahwasanya ada masalah internasional yang sangat serius, gawat dan harus segera ditangani.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih dijadikan sebagai dasar hukum untuk menjaring Cybercrime, khususnya jenis Cybercrime yang memenuhi unsur-unsur dalam pasal-pasal KUHP. Beberapa dasar hukum dalam KUHP yang digunakan oleh aparat penegak hukum antara lain:
- Pasal 167 KUHP
- Pasal 406 ayat (1) KUHP
- Pasal 282 KUHP
- Pasal 378 KUHP
- Pasal 112 KUHP
- Pasal 362 KUHP
- Pasal 372 KUHP
Selain KUHP adapula UU yang berkaitan dengan hal ini, yaitu UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dimana aturan tindak pidana yang terjadi di dalamnya terbukti mengancam para pengguna Internet. Sejak ditetapkannya UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada 21 April 2008, telah menimbulkan banyak korban. Berdasarkan pemantauan yang telah
Aliansi lakukan paling tidak telah ada 4 orang yang dipanggil polisi dan menjadi tersangka karena diduga melakukan tindak pidana yang diatur dalam UU ITE. Para tersangka atau korban UU ITE tersebut merupakan pengguna Internet aktif yang dituduh telah melakukan penghinaan atau terkait dengan muatan penghinaan di Internet.
Orang-orang yang dituduh berdasarkan UU ITE tersebut kemungkinan seluruhnya akan terkena pasal 27 ayat (3) dan pasal 45 ayat (1) UU ITE yakni dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda 1 miliar rupiah. UU ITE dapat digunakan untuk menghajar seluruh aktivitas di Internet tanpa terkecuali jurnalis atau bukan. Karena rumusannya yang sangat lentur (lihat tabel lampiran).
Tindak pidana yang harus menjadi perhatian serius dalam UU ITE |
Pasal 27 (1) |
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. |
Pasal 27 (3) |
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. |
Pasal 28 (2) |
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). |
Aliansi menghimbau kepada pemerintah agar menarik kembali pasal-pasal tersebut dan merumuskan ulang sehingga dapat menjamin kebebasan menyatakan pendapat dan ekpresi para pengguna Internet. Memasang kembali rambu-rambu yang lebih jelas mengenai larangan muatan Internet.
Aliansi juga meminta para pihak pengguna Internet untuk tetap agar mendorong pemerintah dan Menteri Komunikasi dan Informatika untuk segera merevisi aturan ini karena pengguna Internet merupakan calon korban terbesar dalam kasus-kasus tersebut.
Secara khusus
Aliansi meminta kepada pihak kepolisian agar tidak menggunakan instrumen cacat ini untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Berikut adalah contoh kasusnya:
No |
Nama |
Keterangan |
Pasal dan ancaman |
1 |
Prita Mulyasari |
Digugat dan dilaporkan ke Polisi oleh Rumah Sakit Omni Internasional atas tuduhan Pencemaran nama baik lewat millis.
Kasus ini bermula dari surat \elektronik (email) yang dibuat oleh Prita yang berisi pengalamannya saat dirawat di unit gawat darurat Omni Internasional. |
Pasal 27 UU ITE ancaman hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar |
2 |
Narliswandi Piliang |
Wartawan yang kerap menulis disitus Presstalk.com 14 Juli 2008 lalu dilaporkan oleh anggota DPR, Alvin Lie ke Polda Metrojaya.
Kasus Tersebut bermula dari tulisan Narliswandi Piliang yang berjudul “Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto”, yang berisikan PAN meminta uang sebesar Rp. 2 Triliun kepada Adaro agar DPR tidak lakukan hak angket yang akan menghambat IPO Adaro. |
Pasal 27 UU ITE ancaman hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp. 1 miliar |
3 |
Agus Hamonangan |
Agus Hamonangan adalah moderator milis FPK. (lihat kasus ke-2 di atas) Diperiksa sebagai saksi perkara pencemaran nama baik di Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Pelapor kasus tersebut adalah Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional Alvin Lie, terkait pemuatan tulisan berjudul Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto, karya Narliswandi Piliang. |
Pasal 27 UU ITE ancaman hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp. 1 miliar |
4 |
EJA (38) inisial |
Atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong melalui sistem elektronik, EJA Dijadikan sebagai tersangka karena meengirimkan e-mail kepada kliennya soal lima bank yang dilanda kesulitan likuiditas, EJA telah resmi ditahan.
Informasi EJA itu katanya dikhawatirkan akan menyebabkan rusuh atau kekacauan.
Dikatakan bahwa EJA mendengar rumor soal sejumlah bank kesulitan likuidasi dari para broker secara verbal. EJA lalu menginformasikan hal itu kepada para kliennya melalui e-mail dengan domain perusahaannya. Informasi inilah yang lalu tersebar luas. |
Pasal 27 UU ITE ancaman hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp. 1 miliar |
REFERENSI
0 komentar :
Posting Komentar